Testimoni Buku ”Recep Tayyip Erdoğan: Revolusi Dalam Sunyi”

promosi
Recep Tayyip Erdogan : Revolusi Dalam Sunyi

Testimoni pembaca

Buku Recep Tayyip Erdoğan Revolusi Dalam Sunyi, adalah buku yg wajib dibaca oleh para pecinta isu – isu politik Timur Tengah kontemporer khususnya mengenai Turki dan presiden Erdoğan. Penulis buku ini Abangda Sya’roni, sempat menempuh pendidikan untuk gelar doktoralnya di Marmara University tahun 2017

Oleh karena pengalaman dan hasil penelitian beliau disana, konten yang disampaikan dalam buku ini independen, serta syarat akan informasi mengenai sisi lain dari Turki dan Presiden Erdoğan

Presiden Erdoğan saat ini telah menjelma jadi figure baru di kawasan Timur Tengah, dengan kembali terpilihnya beliau dalam Pemilu Juni kemarin, tentu membuat kelompok Barat dan Eropa harus merubah peta politik mereka di kawasan Timur Tengah,hal ini menjadi sangat menarik untuk ditelaah lebih jauh. Sehingga buku ini menjadi salah satu referensi wajib bagi para pecinta isu – isu di Turki

Cara penyampaian di buku ini lugas, padat, dan jelas jadi tidak akan membuat para pembaca bosan. Selamat membaca.. (Amelia, mahasiswi Jurusan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta)

 

OIC Young Leaders Summit 2016 in Istanbul

IMG_4923.JPG

Its always an honor to engage and collaborate with the big family of OIC Young leaders from OIC countries or Muslim world. Through the event i had a chance to create networking with future leaders of Muslim world from Asia to Africa, from Europe to America under the umbrella of solidarity and brotherhood.

_________________

Saat menghadiri program pertemuan para pemimpin muda dari negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam atau OKI yang memiliki anggota dari berbagai belahan dunia mulai dari Asia hingga Afrika, dari Eropa hingga Amerika, para pemuda hari ini adalah calon pemimpin masa depan.

 

Puasa Defensif

image
Menyendiri di Masjid Istiqlal (Foto/Anadolu Ajansi)

Untuk beberapa alasan puasa di negara yang sangat sekuler seperti Turki adalah tantangan tersendiri. Sebab di negara ini tak ada edaran khusus untuk menghormati mereka yang puasa, semua aktifitas berjalan normal seperti hari-hari biasa. Musim panas juga tak sempat bertoleransi kepada mereka yang puasa sebab begitulah ritme tugas mereka ketika memasuki bulan-bulan ini, sehingga 17 jam merupakan waktu normal menjalankan ibadah puasa.

Tahun pertama saya puasa di Turki adalah empat tahun silam ketika tengah belajar bahasa Turki di Kota Bursa yang karakter masyarakatnya relatif lebih soleh dan belum banyak tercampur dengan kultur Eropa, namun tetap saja kebiasaan puasa belum menjadi perilaku dominan di masyakarat atau ruang publik. Tahun ini puasa di kota Istanbul. Kota yang selalu sibuk dengan aktifitasnya. Kota ini memiliki karakter sangat terbuka, akulturasi budaya Eropa telah lama menyatu dengan masyarakatnya, ada banyak expatriat menetap di kota ini, ada banyak diplomat dari berbagai negara tinggal dengan membawa kultur mereka masing-masing, ada banyak turis yang datang silih berganti, dan semua kelompok masyarakat ini harus diakomodasi oleh jasa hotel dan pemerintah, singkat kata Istanbul adalah kota dengan cita rasa kosmolit tingkat tinggi sejak era Ottoman.

Lebih spesifik lagi, saya tinggal di Besiktas, salah satu kawasan yang karakter masyarakatnya sangat sekuler. Mulai dari cara berfikir hingga cara berpakaian. Melintas di lorong-lorong bagian dalam pasar Besiktas anda akan melihat gerai-gerai pub yang beroperasi seperti biasa. Warung makan juga menganggap bulan ini tak lebih dari bagian dari Musim Panas yang perlu dirayakan dengan menggelar kursi dan meja di halaman depan. Pelanggan suka dengan hamparan sinar matahari. Ada beberapa warung yang memutuskan tutup selama puasa seperti dilakukan “Karadeniz Usta” yang terkenal dan fenomenal dengan donernya itu.

Namun tetap saja warna sekuler macam ini tidak mendominasi begitu saja, tidak jauh dari warung-warung minuman keras ini masjid yang dibangun sejak abad 16 oleh arsitek Mimar Sinan masih kokoh berdiri dengan aktifitasnya. Mengumandangkan azdan ketika tiba waktu. Mengajar ngaji mereka yang tertarik kursus quran (prioritanya anak-anak yang sedang libur musim panas). Menambah pengajian ekstra selama bulan puasa dan ritual lainnya. Plus pemerintah setempat belakangan mulai mengkampanyekan buka bersama di alun-alun kota, pemerintah menyantuni mereka yang berpuasa dalam jumlah besar. Ini tidak lepas juga dari instruksi Presiden Erdogan kepada bawahannya.

Setiap kali berjalan melewati jalur pasar ini, saya kadang tersenyum sendiri, betapa indahnya bertoleransi dengan sadar.

Toleransi bukanlah hal baru dalam tradisi Islam sehingga hadis nabi terkait puasa sangat menekankan pentingnya bersikap “generous” selagi menjalankan ibadah ini. Nabi mengatakan “as shaumu junnatun, fala yarfust wala yajhal, ila akhirihi..”(AL Bukhari Fasl Siyam), “junnatun” maknanya adalah “perisai” atau “bertahan”, dalam sepakbola bertahan adalah bagian dari strategi. Tidak menyerang kendati bertubi-tubi mendapat serangan. Sehingga perilau “sweeping”, marah-marah, minta dihormati karena merasa puasa, sejatinya bukanlah tradisi bijak yang diwarisi rosul, kita di Indonesia juga telah terbiasa untuk tidak minta untuk dihormati karena berpuasa.

Di luar sana, ada banyak godaan dan serangan dalam berbagai bentuknya yang akan menguji seberapa kuat anda bertahan selama menjalani ibadah sunyi senyap ini. Jika berhasil melewati tantangan itu maka boleh jadi puasa anda masuk kategori puasa khowas (khusus), jika gagal boleh jadi masuk kategori amm (biasa-biasa) saja. Selamat melanjutkan ibadah puasa anda yang tersisa untuk hari-hari kedepan.

Istanbul, Juni 2015

M. Sya’roni Rofii

‪#‎catatankecil‬ ‪#‎puasa‬

Politik Sunyi Ahmet Davutoglu

 

484163

(Foto/TRTHABER)

Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu akhirnya secara resmi mengeluarkan pernyataan terkait hasil pertemuannya dengan Presiden Erdogan. Pernyataan resmi ini sebetulnya sangat ditunggu publik dan analis pada Selasa kemarin. Namun Davutoglu
memilih melakukannya Kamis kemarin di kantor partai AKP.
Secara pribadi saya bersimpati dengan PM Davutoglu yang menyakatan tidak akan maju sebagai kandidat ketua umum pada kongres luar biasa yang akan
dilaksanakan sebelum bulan puasa.
Kongres luar biasa ini merupakan opsi internal

partai AKP setelah adanya perbedaan pandangan antara Davutoglu dengan dewan strategis partai yang disebut MYK. MYK ini adalah lembaga superior milik partai yang wewenangnya sangat menentukan  dan diisi oleh figur penting partai. Davutoglu
dengan latar belakang akademisi memang  mengharapkan kekuasaan yang diberikan partai tak  terbatas. Wewenang tak terbatas adalah visi ideal namun dalam kenyataan politik ia harus berhadapan dengan internal partai yang tidak ingin status
yang selama ini melekat dengan Erdogan pindah ke orang lain: saat ini figur itu adalah Davutoglu atau figur lain nantinya.

Mesin partai AKP tampak tidak setiap dengan permintaan tersebut dan pada saat yang sama figur-figur yang lebih senior di partai dibanding Davutoglu memiliki pengaruh tersendiri. Sukses Davutoglu selama ini tidak lepas dari kemampuan Erdogan meminimalisir gejolak dari tokoh senior. Sehingga tidak heran ketika Davutoglu menyatakan hormat sangat tinggi kepada Edogan dan menghindari ruang yang bisa membawa mereka terbawa dalam konflik terbuka. Keputusan tidak maju dalam kongres adalah bentuk hormat Davutoglu pada Erdogan yang telah bekerja bersama sejak dari
posisi penasehat PM, Menlu hingga PM.

Pesan paling jelas Davutoglu untuk meredam manuver pihak oposisi adalah “Kehormatan Presiden adalah kehormatanku. Keluarga presiden juga adalah keluargaku. Saya akan meredam setiap upaya perlawan dan spekulasi terkait Saya dan Presiden.
Kita harus bersatu dalam partai, dan saya akan terus menjalankan aktifitas politik bersama Anda semua di partai ini”.

Dengan pernyataan ini Davutoglu telah menyelamatkan citra diri dan partai dan terhindar
dari badai spekulasi yang sejak awal menjadi peluru andalan kelompok oposisi untuk menyerang pemerintah.

Apakah karir Davutoglu sudah habis? Tentu saja tidak. Ia masih muda. Ia cukup sukses menjadi nahkoda partai di saat krisis. Ia hanya perlu uzlah untuk sementara dari hiruk pikuk Ankara dan Istanbul untuk mencari kesunyian dan kebijaksanaan di kampung halamannya Konya. Dalam arti sebenarnya, jadwal Davutoglu setelah konferensi
pers di Ankara adalah shalat Jumat di Konya, kota tempat istirahat terakhir Mevlana Jalaludin Rumi. Hayirli Cumalar!

-M. Sya’roni Rofii

 

Bertemu Sang Imam di Vienna (Austria 2)

image
Bersama Imam Hasyim Mahrougi di depan Islamische Zentrum (Dokumen Pribadi)

Berjalan mengikuti arah mata angin dan kata hati akan membawa kepada hal-hal tak terkira. Begitu kesimpulan saya selama berjalan di daratan Eropa. Tak terkecuali di kota Vienna. Perjumpaan tak sengaja dengan wanita berjilab di metro kota Vienna ketika hendak berkunjung ke markas PBB mengantarkan saya bertemu masjid terbesar kota ini.

Alt Donau begitu kata kunci yang saya dapat dari wanita berjilbab yang saya temui itu. Belakangan saya baru paham Alt Donau adalah sebutan lain dengan bahasa Jerman dari Danube river atau sungai Danube, sebuah sungai yang melintasi sepuluh negara sekaligus, mulai dari Jerman hingga Ukraina. Saya sendiri menempatkan tepian sungai sebagai salah satu titik favorit ketika berkunjung ke kota-kota Eropa, sebab ciri khas kebudayaan mereka sangat dekat dengan sungai dan kanal.

Keluar dari stasiun metro Alt Donau akan terlihat petunjuk arah menuju “Islamische Zentrum” dan butuh waktu setengah jam untuk mencapai Islamische Zentrum, kalaupun harus menunggu bus yang melintas perlu kesabaran tingkat tinggi karena perjalanan arah masjid hanya ada setiap 45 menit. Saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju masjid ini setelah mendapat penjelasan dari seorang bapak-bapak pengendara sepeda yang saya cegat. Saya berani mencegat bapak ini karena wajahnya tampak seperti wajah Pakistan atau India, karena yang bersangkutan adalah orang asing maka perasaan sesama asing menjadikan kita bisa menjadi sahabat. Disamping itu bapak ini (kalau tidak salah dengar namanya Kishore) datang dari ujung jalan yang hendak saya tuju. Sekilas percakapan dengan Kishore, pria berusia 50an tahun ini adalah warga asli India yang merantau sebagai mahasiswa di Kanada setelah dua puluh tahun di Kanada ia memutuskan untuk menjadi warga negara Kanada. Kini ia bekerja di lembaga PBB yang bergerak di bidang riset energi nuklir dan atom (IAEA), berkantor di Vienna.

Apakah anda muslim atau? Saya sempat bertanya demikan kepada Kishore untuk memastikan ia pernah ke masjid itu. Saya Hindu begitu jawabnya tegas, namun saya beberapa kali diundang kolega Muslim untuk perayaan idul fitri. “Kamj ikuti jalan ini hingga ujung, disana akan terlihat bangunan masjid yang besar”, jawabannya membuat saya yakin untuk berjalan kaki sambil melihat-melihat tekstur bangunan di komplek perumahaan kawasan Alt Donau.

Setiba di masjid saya langsung menuju ruangan imam masjid yang saat itu kebetulan lagi senggang, imam masjid ini adalah Dr. Hasyim Mahrougi seperti terlihat di foto, untuk menciptakan keakraban saya membuka percakapan dengan bahasa Arab untuk kemudian diselingi bahasa Inggris sebab sang imam adalah warga Arab Saudi yang ditugaskan untuk mengelola masjid ini. Foto Raja Faisal bin Abdul Aziz as Saud terpampang di ruang kerja beliau.

Dari obrolan ini saya sedikit tahu tentang sejarah berdirinya masjid ini. Termasuk menjawab pertanyaan saya tentang petunjuk arah menuju masjid yang disediakan oleh pemerintah kota, sebab petunjuk arah yang cukup besar di wilayah yang strategis merupakan pengakuan tersendiri pemerintah setempat bagi masjid ini.

Masjid ini resmi dibuka tahun 1979, setelah sebelumnya tanah yang dibeli komunitas muslim setempat mendapat bantuan dana untuk pembangunan masjid oleh faja Faisal, izin pembangunan tidak lepas dari pressure politik dari negara-negara Muslim yang menginginkan sebuah masjid besar di Vienna “negara-negara muslim termasuk Indonesia memberikan tekanan politik kepada Austria agar diberikan izin”, ketika menyebut Indonesia sang imam memfokuskan pandangannya kepada saya. Namun situasi demikian, memberikan tekanan kepada pemerintah Eropa, jika dilakukan hari ini tampaknya akan sulit terwujud, kata sang imam.

Poin menarik lainnya dari sang imam ketika saya bertanya soal perkembangan isu Islamophobia yang beberapa hari sebelumnya menjadi topik presentasi paper saya di Warsawa, beliau menjawab dengan jawaban yang cukup bijak “jika kita menjauhkan hidung kita dari masalah, maka masalah tidak akan pernah mendatangi kita” sebuah majas ala Arab yang mengandung makna sangat dalam.

Pertemuan singkat itu kami akhiri dengan foto bersama di depan masjid yang cukup luas dengan taman dan lahan parkir yang cukup luas pula. Perasaan bersaudara berlatar iman kadang membuat urusan jadi lebih mudah tanpa ada tendensi untuk saling curiga, hadirnya pembedaan berdasar mazhab yang dijadikan bahan provokasi hanyalah duri kecil yang seharusnya tak terlalu dibesarkan.

Vienna, Maret 2016

#catatankecil #vienna

Cerita Kecil dari Masjid Vienna (1)

imageSouvenir lain dari Austria adalah foto-foto yang memiliki cerita tersendiri. Foto yang ini adalah perjumpaan saya dengan komunitas Muslim di Austria. Dibelakang kami adalah masjid terbesar di Vienna dan salah satu yang terbesar di Eropa. Untuk mencapai lokasi “Islamisch Zentrum” ini butuh waktu empat puluh menit perjalanan metro dari pusat kota ditambah jalan kaki dua puluh menit, lumayan jauh tapi sangat berkesan.

Sebelumnya saya sudah berniat untuk mengunjungi masjid terbesar di Paris “Grande Mosquee de Paris” namun karena mepetnya waktu ke bandara Charles de Gaule akhirnya saya urungkan untuk kesana. Sebagai gantinya masjid di Vienna harus ketemu.

Saat perjalanan menggunakan metro menuju kantor PBB di Vienna saya berjumpa seorang wanita berjilbab ia duduk persis di depan saya, tanpa berfikir panjang saya langsung bertanya apakah ia bicara bahasa inggris atau tidak namun sayangnya yang bersangkutan hanya bisa bahasa Vienna alias bahasa Jerman. Saya lantas menggunakan bahasa isyarat untuk bertanya soal alamat jika ingin bertemu masjid untuk sholat, terlepas masjid apa yang akan ditunjukkan baik besar atau kecil, milik komunitas Turki atau Arab atau, beraliran sunni atau syiah dan kemungkinan lainnya.

Wanita berjilbab itu menunjuk “Alt Donau”, namun untuk meyakinkan dirinya bahwa alamat itu benar ia menghubungi kerabatnya via telpon, ia belum sempat menerima penjelasan detail dari orang yang ia coba hubungi dan belum sempat juga menjelaskan lagi lebih detail arah peta kota yang aku pegang hingga akhirnya kami harus berpisah di sebuah stasiun karena ia telah sampai tujuan, ia harus bergegas pergi dan menunjuk satu alamat sebagai kata kunci kemana aku harus pergi, kendala bahasa membuat pertanyaan untuk sebuah alamat menjadi dramatis, aku begitu merepotkan dia sampai harus menelpon segala, begitu batinku.

Singkatnya, jarak antara kantor PBB dan masjid ini hanya satu stasiun membuat urusan lebih mudah, aku sempat mengunjungi masjid ini dan bertemu imam serta komunitas Muslim yang menghidupkan masjid ini. Termasuk bocah ini, ia datang bersama ibunya dan ibu-ibu lain bersama anaknya, aku tidak sempat bertanya namanya dan nama ibu bocah ini karena ia tampaknya belum mulai pelajaran bahsa asing. Ibu anak ini (sebut saja Sophia) bisa berbahasa Inggris dan sangat kelihatan ia adalah warga asli Austria yang menggunakan jilbab, Sophia sangat bersahabat setelah mengetahui saya dari Indonesia dan sedang belajar di Turki. Saya sempat meminta izin untuk mengambil gambar bersama anak-anak kecil yang ada di sekitar masjid dan hendak pulang ke rumah masing-masing, Sophia mengizinkan dengan senang hati sementara dua ibu lainnya terlihat protektif dan melarang anak-anak kecil yang lucu itu berpose denganku, padahal anak-anak itu sudah ambil ancang-ancang dengan gaya masing-masing, Sophia mencoba meyakinkan ibu-ibu tadi namun usahanya tak berbuah hasil, saya lantas meminta dua anak kecil lainnya untuk pergi ke ibunya dan tersisa anak Sophia. Dan, inilah hasil fotonya.

Aku mengucapkan terima kasih kepada Sophia dan ia mengucap salam sebelum berpisah, dari kejauhan Sophia terlihat sedikit kecewa dengan dua rekannya dan memberikan informasi “anak muda itu dari Indonesia ia sedang studi di Istanbul” untuk menegur mereka. Lagi-lagi aku merekpotkan orang lain, sebelumnya di metro kini Sophia.

Namun, aku tidak menyalahkan dua ibu tadi sebab beginilah keadaan dunia sekarang, di satu sisi kultur masyarakat Austria memang terkenal kaku dan strict pada aturan hal ini dikuatkan juga dengan desain apartment-apartment yang terlihat tidak memiliki ruang untuk interaksi antar tetangga, di sisi lain propaganda ISIS yang memanfaatkan sosial media untuk merekrut bocah-bocah telah menciptakan kekhawatiran tersendiri, boleh jadi reaksi dua ibu tadi menguatkan asumsi ini.

Semoga kelak bisa berjumpa lagi dengan bocah ini dan Sophia di masjid yang sama dengan keakraban yang berlebih disusul anak-anak kecil lainnya ketika mereka beranjak dewasa dan paham tentang dunia dimana mereka hidup dan dibesarkan.

Vienna, Maret 2016

#catatankecil #vienna

Rekonsiliasi Paris (Republika 12/01/15)

Rekonsiliasi Paris
Monday, 12 January 2015, 11:00 WIB
Serangan brutal kelompok ekstremis terhadap kantor majalah Charlie Hebdo sangat disayangkan dan patut dikecam semua orang. Kendati majalah mereka memang memiliki aliran satiris yang selalu punya dimensi tersendiri untuk mengkritik Islam, Kristen, dan Yahudi sebagaimana ditegaskan dokumen kartun-kartun dan editorial mereka sebelum ini, aksi serangan mematikan bukanlah cara yang bijak untuk merespons posisi majalah mereka.

Pascainsiden yang menelan 12 orang korban itu, Pemerintah Prancis menetapkan status siaga nasional dan memerintahkan otoritas keamanan mencari pelaku secepat mungkin. Pada Jumat (9/1) aparat setempat berhasil menemukan tersangka Cherif Kouachi dan Said Kouachi yang berhasil dilumpuhkan setelah melewati proses penyergapan di pasar Kosher, Paris (France24, 9/1).

Dua bersaudara pelaku penembakan di Charlie Hebdo seketika dikaitkan dengan identitasnya sebagai “Muslim” dan secara cepat memiliki dampak spiral, baik di level publik maupun pemerintahan. Hal ini tidak lepas dari identifikasi media yang melihat keterkaitan antara latar belakang pelaku dan aksinya terhadap kantor majalah yang dianggap telah melakukan penghinaan. Editorial media dan kartun-kartun yang tersebar pascakejadian mengonfirmasi bagaimana reaksi media-media atas inisiden ini. Belum lagi, bicara reaksi para pengguna jejaring sosial yang memang memiliki pengaruh signifikan dalam pembentukan opini publik masa kini.

Kebebasan media Prancis
Semua orang setuju bahwa media memiliki kebebasan tak terbatas dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya. Charlie Hebdo juga merasa memiliki keistimewaan karena hidup di negara yang sangat bebas dan menjunjung tinggi kebebasan. Prancis juga memiliki tradisi kebebasan dan satirisme, seperti komentar mantan presiden Nicolas Sarkozy ketika memberikan dukungannya lewat surat terhadap majalah Charlie Hebdo saat berada di persidangan pada 2007 berhadapan dengan Organisasi Persatuan Islam Perancis (UIOF) (CFCM TV, 2007).

Namun. bukan berarti semua orang di level elite memberikan dukungan yang sama terhadap majalah yang memiliki kebijakan editorial yang menurut mantan editornya, Stephane Charbonier, merepresentasikan “seluruh sayap kiri dan para pendukung golongan putih” (Le Courrier, 9/4/10). Mantan Presiden Jaques Chiraq, misalnya mengutuk, tindakan media ini karena telah melakukan provokasi dan meminta mereka untuk menghindari penerbitan yang bersifat menyerang dan menyakiti keyakinan orang lain, terutama keyakinan beragama (CFCM TV, 2007).

Terbelahnya persatuan Prancis
Untuk konteks Prancis dan Eropa secara keseluruhan, sentimen ras dan anti-Islam memang bukan kabar baru, terutama dari kelompok ekstremis ultranationalis. Kelompok ultranasionalis umumnya mengedepankan sikap antiimigran dan anti-Islam (John Esposito, 2012). Sehingga kejadian penyerangan terhadap kantor Charlie Hebdo, seperti pemicu atas kemunculan kembali nuansa kebencian bernuansa ras dan agama di level masyarakat.

Sebelum kejadian ini, sebetulnya Pemerintah Perancis telah melakukan upaya-upaya afirmasi terhadap setiap golongan di Prancis, khusus untuk komunitas Muslim. Bentuk tindakan afirmasi berupa pemberian izin membangun rumah ibadah, kehadiran presiden era Sarkozy pada acara buka puasa bersama, dan pemberian akses penuh terhadap birokrasi. Langkah tersebut ditujukan untuk menguatkan persatuan di level domestik.

Ahmed Merabet sebagai martir
Dari sekian pemberitaan yang muncul di media, kabar meninggalnya salah seorang petugas kepolisian bernama Amed Merabet di lokasi kejadian merupakan penawar dari seluruh pemberitaan yang sebelumnya memojokkan Islam sebagai agama yang bersalah karena memilki pengikut radikal yang telah menewaskan puluhan nyawa tak berdosa.

Ahmed yang merupakan warga keturunan Aljazair menjadi koban penembakan saat sedang melakukan patroli menggunakan sepeda dan menjadi petugas pertama yang berada di lokasi kejadian (the Guardian, 10/1). Meninggalnya Ahmed meninggalkan luka bagi keluarga yang selama ini dinafkahinya sekaligus menjadi saksi bahwa nasionalismenya untuk semangat kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan yang selama ini dipegang di Prancis tidak boleh diragukan.

Pengorbanan Ahmed juga harus dilihat oleh semua orang sebagai dasar penilaian bahwa akar keagamaan tidak secara otomatis disalurkan dalam bentuk kebencian dan kekerasan seperti dilakukan oleh para kelompok ekstremis penyerang Charlie Hebdo. Sementara, Pemerintah Perancis harus berani mengakui bahwa elemen-elemen yang membangun Prancis hari ini terdiri atas berbagai latar belakang keagamaan dan bahkan latar belakang ras. Dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada kita berharap Kota Paris bisa menjadi simbol rekonsiliasi nasional dan dunia yang lebih damai dan saling menghargai.

M Sya’roni Rofii
Mahasiswa S-3 Ilmu Politik dan Hubungan Internasional, Marmara University, Istanbul-Turki

Catatan Kecil untuk Presiden Jokowi

Catatan Kecil untuk Presiden Jokowi

Sebagai warga yang telah memberikan mandat kepada Pak Jokowi saya secara pribadi menyatakan memberikan kartu kuning kepada Pak Jokowi karena kekhilafannya telah menerima “bola panas” penujukkan BG sebagai Kapolri.

Khilafnya Jokowi tidak lepas juga dari kuatnya pressure dari kubu partai banteng untuk mengakomodasi BG sebagai Kapolri yang diidentikan sebagai mantan ajudan ibu ketua dengan pertimbangan yang melampaui kepatutan dari sisi etika hukum.

Cara PDI P lewat sekjennya Hasto melempar isu dihadapan media terkait Samad ketua KPK seperti menujukkan partai ini tidak dewasa dalam mengelola isu nasional. Belum lagi jika bicara pelapor kasus lama BW adalah kader mereka. Mereka tidak sadar posisi politik dan manuver mereka selalu berimbas kepada institusi presiden yang saat ini diduduki kader mereka: Jokowi. Samad selaku ketua KPK memang tidak bebas dari khilaf juga sebab sebelum ini ia pernah terkena sidang etik dan komentarnya di media kadang sering “offside” yang membuat insitusi KPK berada dalam posisi tidak nyaman. Untungnya di jajaran pimpinan KPK ada Busyro Mukoddas yang lebih berani tetapi sangat berhati-hati ketika membuat pernyataan.

Sementara Polri dengan oknum yang ada di level elit telah melakukan kekhilafan juga karena melakukan “perang terbuka” dengan KPK yang secara dukungan massa jauh lebih banyak karena insitusi ini telah menjelma menjadi institusi percontohan penegakan hukum di Indonesia. Padahal pengalaman Cicak vs Buaya belum benar-benar hilang dari memori publik.

Dari sekian fakta ini penyelenggara negara baik Presiden, Polri, KPK dan tentu saja partai politik harus paham mereka hidup di alam demokrasi dan masyarakat terbuka. Setiap detik perkembangan kejadian di republik terus dipantau oleh masyarakat dan akan ada reaksi dari tindakan penyelenggara negara.

Kekuasaan “power” tidak lagi terkonsentrasi di level penyelenggara negara tetapi telah terbagi kepada seluruh rakyat Indonesia yang sehari-hari membayar pajak untuk jalannya proses bernegara. Negara yang sehat adalah negara yang didirikan diatas kepedulian warganya. Selamat berakhir pekan Pak Presiden dan jajarannya, semoga krikil seratus hari pemerintahan ini membuat anda lebih berani pada awal pekan depan dan di hari-hari berikutnya. Salam warga… ‪#‎catatankecil‬ ‪#‎pendidikanpolitik‬

Jejak Perang Kecil Korut Kontra Amerika Serikat

Kim Jong Un saat melakukan briefing rencana serangan ke AS kepada para jendralnya tahun 2013 (foto/telegraph)

Korea Utara pernah merilis gambar rencana serangan terhadap tempat-tempat strategis di Amerika Serikat, meliputi Washington, Hawaii dan beberapa titik penting di negara bagian Amerika Serikat. Dengan gestur meyakinkan Kim Jong Un, selaku pemimpin tertinggi Korut memberikan instruksi kepada para jendral di sekelilingnya.

Dalam gambar yang dirilis oleh pihak Korut, pemimpin tertinggi mereka tengah mempelajari rencana serangan dengan latar belakang peta negara bagian Amerika sebagai target sasaran, para jendral dengan seragam militer yang mengelilingi Kim Jong Un seolah mempertegas perang akan segera terjadi.

Dunia dibuat terkejut oleh berita tersebut. Media massa ramai-ramai memberikan porsi besar untuk rencana ‘serangan” itu dan memberi judul yang tepat untuk menggambarkan peristiwa besar yang akan segera terjadi: sebuah perang asimetris antara negara paling kuat di dunia melawan negara yang masih berjuang untuk mengembalikan reputasi di level internasional karena telah lama dikucilkan.

Kejadian itu berlangsung pada tahun 2013 dan akhir dari peristiwa itu adalah, Korut tidak benar-benar sedang merencakan perang melawan negara Paman Sam, mereka hanya berhasil membuat dunia tahu bahwa Korut juga bisa memberikan ancaman. Pesan lain yang juga ingin mereka sampaikan untuk konteks saat itu adalah bahwa pemimpin mereka Kim Jong Un kendati masih muda memiliki kemampuan seperti para pendahulunya, mampu memberikan komando untuk perang, memiliki wibawa atas para jendral yang siap perang untuk Korea Utara.

Perang Kecil Berulang: Drama “Interview”

Poster Film Interview Produksi Sony (Gambar/Sony)

Kini, Korut merasa perlu untuk merespon tindakan Sony Pictures yang dianggap telah melakukan tindakan berlebihan dengan menggambarkan pimpinan tertinggi mereka “tewas di atas helikopter” lewat film berjudul “The Interview”. Ini seperti puncak olok olokan terhadap Kim Jong Un karena di beberapa kesempatan figurnya sering diparodikan.

Korut menggunakan serangan cyber untuk memberikan peringatan kepada Sony Pictures. Serangan mereka cukup efektif untuk melumpuhkan sistem server Sony dan membuat perusahaan pembuat film itu memutuskan untuk menarik film dari peredaran.

Rencana penarikan film sebagai respon dari serangan cyber mendapat perhatian dari Barack Obama yang menyebut tindakan para hacker Korut telah melampaui batas dan akan memberikan sanksi tegas terhadap Korut dengan memberikan predikan sebagai negara pendukung teroris dalam list lembaga internasional.

Serangan hacker terhadap Sony sebelumnya tidak pernah diakui dilakukan oleh pihak pemerintah Korut namun dari pola serangan Washington menyebut Korut paling bertanggunjawab atas serangan itu. Maka, serangan ini dibalas oleh Washington dengan melumpuhkan sistem internet Korut selama sembilan jam! Sebuah pembalasan yang setimpal atas ulah para hacker.

Namun, lagi-lagi tindakan saling serang ini tidak benar-benar diakui oleh pemerintah kedua negara. Itulah alasan mengapa perang seperti ini tidak mudah untuk dijelaskan secara pasti.

Kesimpulannya, Korut memang akan terus berjuang dengan kekuatan yang mereka miliki untuk menyerang lawannya dan mencari perhatian para aktor internasional. Sementara Amerika akan tetap berada pada garis paling depan untuk membendung setiap tindakan yang bisa mengganggu kepentingan domestik dan kepentingan sekutu terdekat mereka Korea Selatan.