Rekonsiliasi Paris
Monday, 12 January 2015, 11:00 WIB
Serangan brutal kelompok ekstremis terhadap kantor majalah Charlie Hebdo sangat disayangkan dan patut dikecam semua orang. Kendati majalah mereka memang memiliki aliran satiris yang selalu punya dimensi tersendiri untuk mengkritik Islam, Kristen, dan Yahudi sebagaimana ditegaskan dokumen kartun-kartun dan editorial mereka sebelum ini, aksi serangan mematikan bukanlah cara yang bijak untuk merespons posisi majalah mereka.
Pascainsiden yang menelan 12 orang korban itu, Pemerintah Prancis menetapkan status siaga nasional dan memerintahkan otoritas keamanan mencari pelaku secepat mungkin. Pada Jumat (9/1) aparat setempat berhasil menemukan tersangka Cherif Kouachi dan Said Kouachi yang berhasil dilumpuhkan setelah melewati proses penyergapan di pasar Kosher, Paris (France24, 9/1).
Dua bersaudara pelaku penembakan di Charlie Hebdo seketika dikaitkan dengan identitasnya sebagai “Muslim” dan secara cepat memiliki dampak spiral, baik di level publik maupun pemerintahan. Hal ini tidak lepas dari identifikasi media yang melihat keterkaitan antara latar belakang pelaku dan aksinya terhadap kantor majalah yang dianggap telah melakukan penghinaan. Editorial media dan kartun-kartun yang tersebar pascakejadian mengonfirmasi bagaimana reaksi media-media atas inisiden ini. Belum lagi, bicara reaksi para pengguna jejaring sosial yang memang memiliki pengaruh signifikan dalam pembentukan opini publik masa kini.
Kebebasan media Prancis
Semua orang setuju bahwa media memiliki kebebasan tak terbatas dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya. Charlie Hebdo juga merasa memiliki keistimewaan karena hidup di negara yang sangat bebas dan menjunjung tinggi kebebasan. Prancis juga memiliki tradisi kebebasan dan satirisme, seperti komentar mantan presiden Nicolas Sarkozy ketika memberikan dukungannya lewat surat terhadap majalah Charlie Hebdo saat berada di persidangan pada 2007 berhadapan dengan Organisasi Persatuan Islam Perancis (UIOF) (CFCM TV, 2007).
Namun. bukan berarti semua orang di level elite memberikan dukungan yang sama terhadap majalah yang memiliki kebijakan editorial yang menurut mantan editornya, Stephane Charbonier, merepresentasikan “seluruh sayap kiri dan para pendukung golongan putih” (Le Courrier, 9/4/10). Mantan Presiden Jaques Chiraq, misalnya mengutuk, tindakan media ini karena telah melakukan provokasi dan meminta mereka untuk menghindari penerbitan yang bersifat menyerang dan menyakiti keyakinan orang lain, terutama keyakinan beragama (CFCM TV, 2007).
Terbelahnya persatuan Prancis
Untuk konteks Prancis dan Eropa secara keseluruhan, sentimen ras dan anti-Islam memang bukan kabar baru, terutama dari kelompok ekstremis ultranationalis. Kelompok ultranasionalis umumnya mengedepankan sikap antiimigran dan anti-Islam (John Esposito, 2012). Sehingga kejadian penyerangan terhadap kantor Charlie Hebdo, seperti pemicu atas kemunculan kembali nuansa kebencian bernuansa ras dan agama di level masyarakat.
Sebelum kejadian ini, sebetulnya Pemerintah Perancis telah melakukan upaya-upaya afirmasi terhadap setiap golongan di Prancis, khusus untuk komunitas Muslim. Bentuk tindakan afirmasi berupa pemberian izin membangun rumah ibadah, kehadiran presiden era Sarkozy pada acara buka puasa bersama, dan pemberian akses penuh terhadap birokrasi. Langkah tersebut ditujukan untuk menguatkan persatuan di level domestik.
Ahmed Merabet sebagai martir
Dari sekian pemberitaan yang muncul di media, kabar meninggalnya salah seorang petugas kepolisian bernama Amed Merabet di lokasi kejadian merupakan penawar dari seluruh pemberitaan yang sebelumnya memojokkan Islam sebagai agama yang bersalah karena memilki pengikut radikal yang telah menewaskan puluhan nyawa tak berdosa.
Ahmed yang merupakan warga keturunan Aljazair menjadi koban penembakan saat sedang melakukan patroli menggunakan sepeda dan menjadi petugas pertama yang berada di lokasi kejadian (the Guardian, 10/1). Meninggalnya Ahmed meninggalkan luka bagi keluarga yang selama ini dinafkahinya sekaligus menjadi saksi bahwa nasionalismenya untuk semangat kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan yang selama ini dipegang di Prancis tidak boleh diragukan.
Pengorbanan Ahmed juga harus dilihat oleh semua orang sebagai dasar penilaian bahwa akar keagamaan tidak secara otomatis disalurkan dalam bentuk kebencian dan kekerasan seperti dilakukan oleh para kelompok ekstremis penyerang Charlie Hebdo. Sementara, Pemerintah Perancis harus berani mengakui bahwa elemen-elemen yang membangun Prancis hari ini terdiri atas berbagai latar belakang keagamaan dan bahkan latar belakang ras. Dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada kita berharap Kota Paris bisa menjadi simbol rekonsiliasi nasional dan dunia yang lebih damai dan saling menghargai.
M Sya’roni Rofii
Mahasiswa S-3 Ilmu Politik dan Hubungan Internasional, Marmara University, Istanbul-Turki